Siang itu cukup terik, sepulang membeli kebutuhan dapur - ayam, kentang, minyak goreng, bumbu dapur, cabai, beras - di pasar, suami mengajak singgah ke Pom bensin. Antrian saat itu cukup panjang, termasuk mobil mewah. Saya pun melipir sembari menggendong anak Saya, mencari tempat yang nyaman untuk menunggu. Ada pemandangan yang ganjil saat itu, berjejer mobil mewah mengisi bahan bakar pertalite.
****
Berdasarkan dari data katadata, jika pemerintah berencana membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang salah satunya adalah jenis pertalite, yang mana larangan tersebut ditujukan terhadap mobil berkapasitas mesin di atas 2.000 cc, sedangkan untuk sepeda motor dengan kapasitas mesin di atas 250 cc. Larangan tersebut tentunya bukan tanpa alasan, itu karena agar tujuan menjadi lebih tepat sasaran, yakni untuk masyarakat tidak mampu.
Namun faktanya, sebanyak 60 persen masyarakat mampu mengonsumsi hampir 80 persen dari total konsumsi BBM bersubsidi, sedangkan 20 persennya dikonsumsi oleh 40 persen masyarakat rentan dan miskin. Dari fakta data yang Saya temukan itu, jujur saja, Saya tak kuasa membayangkan jika hal tersebut terus terjadi. Betapa meringisnya mereka yang hidupnya masih di bawah pas-pasan. Tanpa edukasi dan kesadaran masing-masing, tentunya BBM bersubsidi tidak tepat sasaran takkan terkendali penggunaannya.
Budayakan Rasa Malu Menggunakan BBM Bersubsidi
Kalimat itu rasanya tepat untuk banyak dipajang di seluruh Pertamina, setidaknya mencoba menggugah hati pengguna kendaraan mewah yang kerap kita lihat menggunakan BBM bersubsidi. Sebagaimana data yang Saya dapat dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang mana merujuk pada UU No.30 Tahun 2007 tentang energi, undang-undang tersebut menegaskan jika subsidi energi adalah hak masyarakat yang tidak mampu (masyarakat miskin). Lalu, apakah masyarakat mampu tidak malu masih mengonsumsi BBM bersubsidi?
Fenomena Dari Krisis Energi
Pengendalian konsumsi terhadap BBM - khususnya BBM bersubsidi - tentunya memiliki alasan tersendiri, yang mana pengendalian tersebut menjadi dorongan kuat dalam mengatasi fenomena krisis energi bahkan perubahan iklim global yang terjadi saat ini. Bahkan, Jakarta resmi menjadi kota yang kualitas udaranya terburuk di dunia. Hal itu tentunya tidak jauh dari faktor bahan bakar yang digunakan oleh pengguna kendaraan.
Tepat pada Selasa, 8 November 2022, Saya ikut serta menyaksikan diskusi publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan KBR terkait tema pengendalian BBM bersubsidi tepat sasaran di wilayah DKI Jakarta.
Bapak Tulus Abadi selaku ketua Pengurus Harian YLKI yang menjadi salah satu narasumber pada diskusi publik tersebut memaparkan, jika 'bahaya laten' subsidi energi ada beberapa hal, diantaranya:
- Tidak adil secara ekonomi dan tidak tepat sasaran
- Mengorbankan kepentingan yang lebih strategis dan berjangka panjang
- Memperbesar utang negara
- Tidak adil secara ekologis
- BBM meninggalkan jejak karbon yang sangat tinggi dan menjadi pemicu perubahan iklim global
Melihat situasi ekonomi dan perubahan iklim global inilah Pak Tulus menilai jika pengendalian BBM bersubsidi menjadi pilihan yang masuk akal. Salah satu cara yang telah dilakukan yakni dengan pengendalian berbasis digital, yakni MyPertamina. Namun sayangnya respon masyarakat terhadap penggunaan MyPertamina dalam pembelian BBM masih kurang, hal itu disebabkan karena kurangnya komunikasi publik dari pemangku kepentingan dan juga Pertamina.
Tekan Penggunaan Kendaraan Pribadi
Seperti yang kita ketahui, jika kualitas udara juga tergantung dari penggunaan bahan bakar yang digunakan sehari-hari. Menurut Luckmi Purwandaru, ST.M.Si sebagai Direktur Pencemaran Udara KLHK memaparkan, jika ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam menanggulangi pencemaran dari emisi gas buang, diantaranya:
- Kurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan beralihlah ke kendaraan umum
- Lakukan uji emisi terhadap kendaraan, agar tahu apakah kendaraan tersebut memenuhi standar kualitas kendaraan ataukah tidak.
- Berjalan kaki jika lokasi yang akan dituju cukup dekat.
Persoalan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke kendaraan umum tentunya juga menjadi tugas penyedia angkutan umum untuk mengoptimalkan pelayanan angkutan umum tersebut, supaya pengguna merasa aman dan nyaman. Sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Dr. Syafrin Liputo, A.T.D.,M.T selaku kepala dinas Perhubungan DKI Jakarta, yang mana penggunaan kendaraan pribadi dapat berkurang apabila pelayanan angkutan umum tersebut bagus.
Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan ketegasan serta konsistensi pemerintah sebagai regulator, dan perlu diadakannya sosialisasi kepada masyarakat luas agar penggunaan BBM bersubsidi lebih tepat sasaran
Tidak ada komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar yang dapat membangun tulisan saya.
Mohon maaf, komen yang mengandung link hidup tidak saya publish ya :)