Heri Chandra Santoso (Dokumen by Viva) |
Sastra merupakan salah satu aspek krusial dalam kehidupan bahkan mempunyai peranan sangat penting dalam membangun peradaban bangsa. Sebab, melalui karya sastra seseorang tidak hanya dapat mengembangkan imajinasinya yang kemudian bisa digunakan untuk membangun bangsa, akan tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda.
Mempelajari sastra tidak hanya dapat membantu kita mengamati hal-hal di sekitar kita, namun juga dapat mempertajam kemampuan kita untuk mendengar, merasakan, dan menyentuh. Sastra juga tidak hanya memperdalam pemikiran kita dengan membawa lebih banyak kesadaran akan nilai-nilai dan pandangan dunia kita sendiri, akan tetapi juga nilai-nilai dan pandangan dunia orang lain di seluruh dunia dan sepanjang sejarah.
Keberagaman sastra di Indonesia yang multikultural tidak menyurutkan semangat dalam membangun indonesia yang lebih baik, lebih beradab, dan lebih bermartabat. Terlebih, perkembangan sastra di Indonesia secara nyata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pun berkaitan erat dengan kehidupan bersastra. Sastra Indonesia merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia yang multimajemuk sehingga secara nyata dapat menjadi cerminan hidup berbangsa, bernegara, bermasyarakat yang beradab serta bermartabat.
Nyalakan Sastra Dimulai Dari Lereng Gunung Medini
Dokumen by Instagram @klmboja |
“Suatu hari, Saya melihat dan mendengar percakapan yang cukup jelas terdengar, karena kebetulan masih tetangga. Percakapan antara bapak dengan anaknya. Anak itu, ingin sekali memiliki buku, lalu kemudian meminta kepada bapaknya untuk dibelikan buku yang dimaksud. Namun, sang bapak tidak dapat memenuhi keinginan anaknya tersebut, karena keterbatasan biaya. Dengan raut wajah yang murung, anak perempuan kelas empat SD itu pun berlalu,” ucap Heri Chandra Santoso, mengenang awal ia memulai kiprahnya.
Percakapan tersebut lantas mengganggu pikiran dan hati Heri, sebab nyatanya kondisi serupa bukan hanya dialami oleh anak tersebut, namun juga dialami oleh anak-anak lain di desanya, Boja. Kenyataan itu tidak dapat dinafikan, pencarian rata-rata masyarakat di sana hanya sebagai petani, pedagang kecil dan buruh pabrik membuat buku menjadi barang yang sangat mahal dan mewah, karena penghasilan yang tidak seberapa lebih diprioritaskan untuk mengisi perut dan untuk menyambung hidup.
‘Untuk makan saja sulit. Lebih penting perut terisi nasi, daripada uang yang tak seberapa ini dibelikan buku,’ sebuah kalimat yang selalu mengganggu pikiran Heri. Bermula dari itulah, Heri kemudian mengungkapkan kegelisahannya pada sahabatnya Sigit Susanto–asli Boja–yang saat itu berdomisili di Benua Eropa namun sedang berlibur ke desanya.
Heri kemudian menceritakan kepada Sigit mengenai tekadnya yang ingin menghidupkan kembali sastra yang hampir kehilangan ‘nyawa’ di desanya. Terlebih desanya itu sangat minim akses informasi dan komunikasi karena berlokasi di Lereng gunung Medini, Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah. Meskipun begitu, nyatanya tidak menyurutkan tekad Heri untuk kembali membangkitkan minat literasi di desa tersebut. Bak gayung bersambut, tanpa disangka ternyata Sigit pun memiliki kegelisahan yang serupa, dan punya tekad yang sama seperti Heri, ingin menyalakan literasi.
Heri lantas mendirikan Komunitas Lereng Medini (KLM) yang merupakan sebuah komunitas yang konsen memberi ruang masyarakat desa di sekitarnya untuk belajar sastra dan budaya. Terbentuknya Komunitas Lereng Medini (KLM) menjadi saksi kolaborasi antara Heri dan Sigit agar masyarakat dapat ‘berbicara’ tentang sastra. Sebenarnya, sebelum Komunitas Lereng Medini (KLM) didirikan, Heri sudah lebih dulu merintis perpustakaan gratis bernama “Pondok Maos Guyub” di rumah milik sahabatnya, Sigit Susanto, di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan Boja. Sigit sendiri merupakan seorang aktivis sastra dan penulis asli Bajo sekaligus moderator milis “Apresiasi Sastra” dengan berbagai karya yang telah diterbitkan. Karya berjudul “Kesetrum Cinta”, merupakan autobiografi kisah hidup Sigit sebagai seorang Jawa yang menikahi perempuan Swiss.
Semakin hari aksi pemuda tersebut semakin banyak menarik minat warga dan tanpa diduga semakin banyak pihak dari luar Boja yang berdatangan dengan sukarela memberikan bantuan berupa buku-buku. Bantuan-bantuan buku tersebut menambah koleksi buku yang semula hanya 100-an judul buku, hingga mencapai lebih dari 3.000 judul buku.
Lika-liku Perjalanan Sastra di Desa Boja
Sebelum menjadi Komunitas Lereng Medini (KLM) sebenarnya telah berdiri perpustakaan bernama “Pondok Maos Guyub” yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi siapapun yang berminat untuk belajar sastra secara gratis. Buku yang dapat dipelajari pun tidak hanya karya sastra lokal atau Indonesia saja, namun juga karya sastra asing ikut menjadi sasaran. Nama Pondok Maos Guyub sebenarnya diambil dari bahasa lokal (Jawa) yang berarti tempat/gubug yang dapat dimanfaatkan untuk rukun (guyub) membaca (maos). Meskipun perpustakaan tersebut tidak besar–hanya satu ruangan yang dindingnya dipenuhi oleh rak buku dan potret para sastrawan–namun kedua pemuda itu berharap dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh masyarakat setempat, terutama anak-anak. Beberapa karya sastra dari para sastrawan Indonesia seperti Ahmad Tohari, maupun sastrawan mancanegara seperti Ernest Hemingway dan Frans Kafka serta buku-buku peraih nobel turut menjadi pengisi rak buku di perpustakaan itu.
Dokumen by instagram @klmboja |
Awalnya tidak mudah bagi Heri, namun meskipun terkendala keterbatasan akses informasi dan komunikasi, Heri tidak putus akal, ia mengakalinya dengan memboyong semua koleksi buku-buku yang ia punya ke Desa Boja, dan memulainya dengan memperkenalkan berbagai macam jenis bacaan. Perlahan namun pasti, berkat kolaborasi yang solid dalam membuat kelompok baca, masyarakat sekitar akhirnya mulai terbiasa membaca, membuat Pondok Maos Guyub semakin ramai dikunjungi, bahkan perharinya warga yang datang bisa mencapai rata-rata sekitar 50-an warga.
Komunitas Lereng Medini (KLM) yang bermetamorfosis dari taman bacaan dan perpustakaan gratis ‘Pondok Maos Guyub’ menjadi komunitas pecinta dan penikmat sastra mulai membuat berbagai acara seperti bedah karya sastra yang rutin dilakukan sebulan sekali, pentas teater, musikalisasi puisi, bulan bahasa, hingga parade sastra. Bahkan, yang tidak kalah menarik juga digelar kegiatan Jemuran Puisi hingga Wakul Pustaka.
- Jemuran Puisi.
Jemuran Puisi merupakan cara mendekatkan puisi kepada masyarakat dengan cara lembaran-lembaran puisi dijemur layaknya menjemur pakaian, selain itu juga ditempel di pohon, dan siapapun boleh memungut serta membacanya.
- Wakul Pustaka.
Wakul Pustaka merupakan kegiatan menaruh buku di dalam wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu, kemudian meletakkannya di warung-warung yang ada di seputaran Boja. Konsepnya sangat unik yakni buku-buku tersebut diletakkan di dalam wakul (bakul nasi dalam bahasa Jawa). Kemudian, bakul-bakul ini dititipkan di warung-warung warga yang mau menerima dan setiap 1-2 bulan sekali buku tadi akan diganti dengan buku-buku baru. Menyiasati agar warga yang membaca tidak merasa bosan, judul buku divariasi dengan buku lainnya setelah beberapa minggu berselang.
Meskipun tidak mudah bagi Heri untuk merawat idealismenya di bidang sastra, karena dibutuhkan dedikasi yang luar biasa untuk keberlangsungan minat sastra yang telah dirintisnya dengan segala keterbatasan, namun bukan berarti segalanya mustahil, Heri justru terus mengusahakan agar sastra bisa dicintai dan semakin berkembang luas di masyarakat, khususnya di Lereng Medini. Sehingga tidak heran jika kemudian Heri mendapat penghargaan Apresiasi SATU Indonesia Awards 2011 dengan kategori Pendidikan, sebab semua berkat kegigihan serta kecintaannya terhadap sastra bersama Komunitas Lereng Medini (KLM) tersebut.
For your information! Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan serta melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut. Melalui program ini, Astra juga mendorong para anak muda yang terlibat dalam SATU Indonesia Awards (SIA) untuk berkolaborasi dengan program unggulan Kampung Berseri Astra dan Desa Sejahtera Astra. Diharapkan, mereka bisa memberikan dampak positif yang lebih besar dan kontribusi yang berkelanjutan pada usaha-usaha pembangunan di daerahnya masing-masing.
Referensi
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/10/16/gerakan-sastra-dari-desa-boja
https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2024/mekanisme/
https://www.instagram.com/klmboja/
Tidak ada komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar yang dapat membangun tulisan saya.
Mohon maaf, komen yang mengandung link hidup tidak saya publish ya :)